Selasa, 19 Maret
2013
13:18
Oleh : Dewi
Yanuarita S.Ip
“Jadi Orangtua : Status, Gaya Hidup atau
Tameng”
Mmmmmmm beberapa
hari ini cuaca lagi panas-panasnya ya..tapi tetap bersyukur karena cucian jadi
pada cepat kering hehehehehe, selain itu kasur dan teman-temannya juga kebagian
jatah dijemur, semua yang dinikmati jadi asik-asik aja.
Kali ini saya ga
akan mengomentari dan menulis tentang cuaca ekstrem yang lagi melanda negara
kita tercinta, tapi saya akan lebih mengulas dan coba menganalisa ke-ekstreman
para “orangtua” yang baru menjadi “orangtua”
tapi kembali lagi , dalam tulisan ini saya tidak ingin menghakimi atau memandang rendah siapapun,
tetapi pengalaman yang akan saya tuangkan ini , menjadi pelajaran dan
pengalaman berharga khususnya untuk saya dan suami yang ingin menjadi orangtua,
dan umumnya untuk semua yang membacanya.
Sudah sekitar
jam 4 sore tapi alhamdulillah cuaca masih terang benderang, dan sempat sedikit
mengurungkan niat saya untuk beberes teras hehehehehe ya beda-beda tipis antara
malas dan pembenaran alasan karena cuaca hahahaha, tapi tekad saya untuk
memperindah dan mempercantik teras saya terlaksana juga karena beneren ya mata
saya sepeeeettttt banget kalo lihat sampah dimana-mana, daun-daun kering yang
jatuh minta giliran disapu ada dimana-mana.Jadi meski cuaca lagi ekstrem (
jaelah cuaca lagi yang dijadiin tameng hehehehe maafkan aq y cuaca ) setelah
mandi sore pastinya saya langsung keluar rumah lengkap dengan perlengkapan sapu
lidi dan teman2nya. Wah ternyata cuaca ga seekstrem yang terlihat dari dalam
rumah, apa karena saya udah mandi ya jadi ga berasa panasnya hehehehe, jadi
dimulailah ritual saya untuk jadi ijah yang khusus merawat teras rumah.
Senangnya lagi,
di depan rumah saya selalu rame dengan canda tawa, celoteh dan kegiatan
anak-anak yang bermain. Lengkap loch mulai dari yang masih bayi 1 bulanan, 5
bulanan, 8 bulanan, batita, bahkan yang sudah SD.Mereka selalu sukses membuat
saya merasa terhibur dan happy, saya juga senang banget menyapa bayi-bayi
itu.Mereka benar-benar lucu dan menggemaskan, tapi sambil menegur bayi-bayi,
sekilas saya juga membayangkan akan jadi apa mereka nanti, meski bukan anak
saya tapi doa saya untuk anak-anak ini selalu tulus semoga mereka menjadi anak
yang berkarakter dunia akhirat.Amin
Jadi kegiatan
sore saya ga terlalu monotan dengan hanya membersihkan teras tapi lebih banyak
kegiatan kumpul dengan bayi-bayi dan anak-anak itu.Tapi diantara bayi-bayi yang
menggemaskan itu ada beberapa bayi yang sakit, sediiiiiiiiiiiiiihhhhh banget
ngeliatnya, mereka jadi ga ceria dan ga bersemangat.
Di lingkungan
tempat saya tinggal dan bahkan sebagian besar orangtua murid saya mayoritas
adalah pasangan muda yang masih
hangat2nya memadu kasih cieeeeeeee ^_^ yang sudah menjadi “orangtua “ dan yang
belum seperti saya dan suami, tapi saya dan suami sudah menjadi “orangtua “
untuk anak didik kita. Rata-rata mereka adalah pasangan muda yang baru saja
dikaruniai 1, 2 atau 3 anak.Tapi saya juga ga akan menyensus total anak yang
dimiliki oleh masing-masing pasangan karena saya bukan kader BKKBN hehehehehe
dan mereka juga rata-rata adalah “orangtua” yang keduanya bekerja, nach
disinilah awal mula cerita dan pengalaman yang saya dapatkan.
Sebagian
pasangan muda yang bekerja itu menitipkan ( *istilah halusnya) anak kepada asisten
rumah tangga yang saya yakin belum pernah ditatar atau ditraining secara khusus
bagaimana “mendidik dan mengasuh seorang anak “ yang sebenarnya yang pastinya
sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak. Mereka menitipkan anak kepada
asisten bahkan orangtua kandung ( * nenek dan kakek ) karena merasa sudah tidak
ada waktu lagi, semua waktu sudah tercurah untuk urusan pekerjaan atau bahkan
duniawi, entah ya ini hanya asumsi saya saja.
Sebenarnya saya
ga perduli juga mereka mau bekerja seharian atau apa ya, karena memang bukan
urusan dan tanggung jawab saya, saya juga bukan orang yang diserahi tanggung
jawab untuk mengurus anak mereka, tapi ga tau yaaaaaaaaaaaaaaaa kalo udah
menyangkut anak saya tuch tersentuh dan langsung pengen berontak kalo ada anak
ga dapat HAK yang semestinya. Ini bukan perkara saya dan suami belum
mendapatkan momongan, bukan juga karena saya berprofesi sebagai tenaga
pendidik anak usia dini,
bukkkaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...bukaaaaaaaaaaaaaaaaaaan itu. Tapi lebih kepada
kodrat saya sebagai wanita dan ibu rumahtangga.
Miris rasanya
mendengar anak bahkan bayi tidak mendapatkan kasih sayang yang benar-benar
kasih sayang dari kedua orangtuanya, sedih rasanya ketika anak tau sesuatu hal
untuk pertama kalinya bukan dari “orangtuanya”, mau nangis rasanya ketika anak
bisa melakukan sesuatu untuk pertama kalinya dalam hidupnya, tapi ga ada
orangtuanya yang menyaksikan dan bahkan mendampingi secara langsungL Dan bahkan mau MARAH
rasanya ketika ada orangtua yang tidak benar-benar menjalankan perannya sebagai
“orangtua” dengan baik.
Sebagian besar
melakukan sesuatu dan bekerja dengan alasan untuk dan demi anak.Tapi saya ga
yakin apa iya semua dilakukan untuk anak???? Apa iya semua dilakukan demi anak,
achhhhhhh jadi tambah sedih nich.Ga tau ya tapi saya jadi sentimentil dan
mellow gini, karena saya merasa ironi banget dengan kenyataan yang ada bahwa
dilingkungan tempat saya tinggal masih banyak “orangtua” yang belum benar-benar
menjadi orangtua. Masih banyak yang menurut saya memiliki anak hanya untuk
status dan tameng, bukan benar-benar SIAP dan BERTANGGUNG JAWAB.Entah ya tapi
memang itu kenyataannya, sering saya dengar, lihat dan saksikan bahkan dihari
LIBUR kerja pun anak tetap berada dibawah pengasuhan asisten rumah tangga, mulai
dari mandi, makan, pakai baju, belajar, menemani bermain ditaman, pipis, pup
dsb. Bahkan anak lebih nyaman untuk berbagi cerita kejadian yang mereka alami
setiap harinya disekolah dengan asisten rumah tangga.Karena “orangtua” sudah
sibuk dengan dunia orang dewasa.Pergi saat anak masih terlelap dan pulang juga
ketika anak sudah terlelap.Jadi dimana peran “orangtua” yang sesungguhnya.
Dimana komitmen dan tanggung jawab “orangtua”.
Bahkan yang lebih ekstrem ada
pasangan yang suaminya hanya mau bertugas mencari duit, tapi ga mau tahu
perkembangan anak-anaknya, dan ga mau juga direpotin dengan urusan anaknya. Ada
yang saya lihat dan saksikan sendiri , gimana si “Ayah” yang katanya udah
pantes disebut Ayah karena sudah punya anak ga berhenti mengomel dan memarahi
anaknya yang masih bayi karena terus menerus menangis dan ga bisa diam karena
sebenarnya si bayi lagi demam dan panas, yang ada si “Ayah” malah meminta
asisten rumah tangga untuk membawa sibayi keluar dari rumah sejauh-jauhnya dari
si “Ayah” mmmmmm sampe ga bisa lagi berkata-kata.Si “Ayah” beralasan dia sudah
lelah mencari duit .
Ada lagi cerita si “Ibu” yang juga katanya sudah pantas
dipanggil “Ibu” karena sudah hamil dan melahirkan anak, tapi memilih untuk
memasrahkan anak ditangan asisten rumah tangga dengan dalih juga harus bekerja
ikut membantu suami mencari duit.Si “Ibu “ lebih eksis diluar dan ga mau
dekat-dekat anaknya apalgi kalo udah ribet mau pergi kerja, dan yang bikin saya
heran lagi, begitu ga ada si asisten rumah tangga sepertinya dunia berasa
KIAMAT buat mereka.Ada juga “orangtua” ini yang menitipkan anak dengan nenek
kakeknya yang sudah tua.Apa iya mencari duit harus seperti itu ya??????? Apa
iya saat ini menjadi “orangtua” harus seperti itu ya???????????? Harus
mengorbankan anak ??????
Sekali lagi
benak saya dipenuhi beragam pertanyaan yang belum saya dapatkan jawabannya. Apa
iya “orangtua” yang mengaku sudah menjadi “orangtua” karena sudah memiliki anak
sudah memberikan HAK dan KEBUTUHAN anak dengan tepat????? Apa betul keduanya
bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan anak, bukan hanya demi gengsi dan gaya
hidup mereka sendiri yang kebanyakan ????? Apa betul sudah siap menjadi
“orangtua” yang sesungguhnya, bukan hanya gaya hidup atau status????????? Apa
benar sudah tidak ada lagi yang namanya quality time dengan anak ??????
Sedih rasanya
membaca hasil ulangan anak didik ,ketika ada pertanyaan siapa yang memberikan
kasih sayang dirumah , sang anak menjawab pembantu
atau asisten rumahtanggaL
Siapa yang memenuhi kebutuhan dirumah sang anak juga kembali menjawab pembantu atau asisten rumahtangga. Kalo
sudah begini jangan salahkan anak jika anak menjadi persis seperti pembantu atau asisten rumahtangga. Baik
sikap maupun ucapan .Jangan salahkan anak jika anak lebih menangisi pembantu atau asisten rumahtangga yang pergi
ketimbang menangisi “orangtua”nya.Jangan salahkan anak jika anak lebih nyaman
berada dalam pelukan dan dekapan pembantu
atau asisten rumahtangga.Jangan salahkan anak jika anak lebih percaya dan
menurut dengan ucapan pembantu atau
asisten rumahtangga .Jadi dimana peran “orangtua” yang sesungguhnya ?????
Yang lebih membuat saya semakin ingin menangis sejadi-sejadinya adalah ketika
“orangtua” membayar waktu yang terbuang dengan hanya memberikan dan membelikan
mainan mahal, gadget keluaran terkini, serta mengajak anak ke mall. Apa itu
solusi yang tepat ????? Apa itu cara menebus dosa????? Apa memang benar bahwa
kehidupan yang ok adalah yang seperti itu ?????????? Apa benar jika memiliki
anak sudah menaikkan status??????????? Sejenak saya berandai-andai, pernahkah
“orangtua” meluangkan sedikit waktu untuk mendengarkan cerita anak????
Meluangkan waktu untuk bermain seharian penuh dirumah dengan kegiatan yang
menyenangkan bersama dengan anak ??????? Pernahkah bahkan dihari libur mau
memandikan, menyuapi, memakaikan baju untuk anak ???????? Padahal sejatinya
menurut saya, anak merasa lebih nyaman
berada dalam pelukan, dekapan, senyuman, kehangatan kedua orangtuanya
dibandingkan dengan kehangatan pembantu atau asisten rumah tangga.Sejatinya
anak juga merasa butuh untuk didengar, dipercaya dan dihargai.Anak bukanlah
orang dewasa dalam ukuran mini.Seorang anak tidak hanya membutuhkan materi, KEWAJIBAN orang tua bukan hanya terletak pada apakah
sudah memberikan makanan enak, membelikan mainan mahal, membelikan baju mahal,
memasukkan anak ke sekolah mahal dan berlabel kurikulum internasional,
bukkaannnn..benar-bukan itu.
Menurut saya ada KEWAJIBAN lebih utama sebagai “orangtua” dari sekedar memenuhi
kebutuhan LAHIRIAH anak, yaitu
memenuhi BATIN anak dengan
menanamkan nilai agama dalam kehidupannya, bersedia dijadikan sebagai sekolah
pertama bagi anak untuk memenuhi rasa ingin tahunya dalam hal akademis, memberi sentuhan, pelukan, dekapan, kecupan,
menyapa dan bertanya kepada anak tentang kegiatan yang anak lakukan, memberi
kepercayaan kepada anak, menghargai dan menghormati HAK anak. Membentuk MORAL dan KARAKTER ANAK dengan baik sejak dini.Menurut saya sejatinya itulah
tugas sebagai ORANGTUA.
Mudah-mudahan
kegelisahan dan kekhawatiran saya tidak menjadi berkepanjangan, karena saya
yakin sesungguhnya dalam hati kecil “orangtua” sudah memiliki niat dan tekad
yang kuat ketika memutuskan sebuah pilihan untuk menjadi “orangtua”.Ini sudah
terbukti dengan beberapa orangtua murid saya yang awalnya bekerja diluar rumah
untuk rela berhenti dan lebih mengurus anak dan rumah tangga dengan baik.Saya
acungkan jempol dan penghargaan yang setinggi-tingginya untuk orangtua yang
sudah mengerti peran sejati sebagai “orangtua”. Semoga saya dan suami juga
diberi kesempatan untuk bisa menjadi orangtua yang sebenarnya.Amin .
Renungan dari Ibu Ainun Habibie yang in sha allah semakin bisa menginspirasi:
--Ibu Ainun Habibie :--
"Mengapa saya tidak bekerja ?
Bukankah saya dokter? Memang.
Dan sangat mungkin saya bekerja waktu itu.
Namun saya pikir : buat apa uang tambahan dan kepuasan
batin yg barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan pada seorang
perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan resiko kami kehilangan kedekatan
pada anak sendiri?
Apa artinya tambahan uang dan kepuasan profesional jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang
sendiri, saya bentuk pribadinya sendiri ? Anak saya akan tidak memiliki ibu.
Seimbangkah anak kehilangan ibu bapak, seimbangkah
orang tua kehilangan anak, dengan uang dan kepuasan pribadi tambahan karena
bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup pas-pasan. Bertahun-
tahun kami bertiga hidup begitu."
Jangan biarkan Anak-anakmu hanya bersama pengasuh
mereka.
Bagaimana bila dibantu pengasuhan dengan kakek
neneknya?
Sudah cukup rasanya membebani orangtua
dengan mengurus kita sejak lahir sampai berumah
tangga.
Kapan lagi kita mau memberikan
kesempatan kepada orangtua untuk penuh
beribadah sepanjang waktu di hari tuanya.
Mudah2an ini bisa jadi penyemangat dan
jawaban utk ibu-ibu berijazah yang rela
berkorban demi keluarga & anak2nya.
Karena ingin Rumah Tangganya tetap terjaga &
anak2 bisa tumbuh dgn penuh perhatian, tdk hanya dalam hal akademik, tp jg utk
mendidik agamanya, karena itulah sejatinya peran orangtua.
Belajar dari kesuksesan orang2 hebat, selalu ada
pengorbanan dari orang2 yang berada dibelakangnya, yang mungkin namanya tidak
pernah tertulis dalam sejarah.
Berbanggalah Engkau sang Ibu Rumah Tangga, karena
itulah pekerjaan seorang wanita yg paling mulia..